?Perenjak Jawa | ||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Perenjak jawa yang masih muda
|
||||||||||||||
Klasifikasi ilmiah | ||||||||||||||
|
||||||||||||||
Nama binomial | ||||||||||||||
Prinia familiaris Horsfield, 1821 |
Istilah "ciblèk" juga digunakan di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah sebagai julukan bagi pelacur di bawah umur (ABG).
Perenjak jawa atau yang juga dikenal dengan nama ciblek adalah sejenis burung pengicau dari suku Cisticolidae (pada banyak buku masih dimasukkan ke dalam suku Sylviidae). Dalam bahasa Inggris burung ini dikenal sebagai bar-winged Prinia, merujuk pada dua garis putih pada setiap sayapnya. Nama ilmiahnya adalah Prinia familiaris Horsfield, 1821.
Morfologi
Burung kecil ramping, dengan panjang total (diukur dari ujung paruh
hingga ujung ekor) sekitar 13 cm. Hampir seluruh sisi atas badan
berwarna coklat hijau-zaitun. Tenggorokan dan dada putih, perut dan
pantat kekuningan. Sisi dada dan paha keabu-abuan. Ciri khasnya sayap dengan dua garis putih, serta ekor panjang dengan ujung berwarna hitam dan putih.
Paruh panjang runcing, sebelah atas berwarna kehitaman dan sebelah
bawah kekuningan. Kaki langsing dan rapuh berwarna coklat kemerahan atau
merah jambu.
Kebiasaan dan penyebaran
Burung yang ramai dan lincah, yang sering ditemui di tempat terbuka atau daerah bersemak di taman, pekarangan, tepi sawah, hutan sekunder, hingga ke hutan bakau. Juga kerap teramati di perkebunan teh.
Dua atau tiga ekor, atau lebih, kerap terlihat berkejaran sementara
mencari makanan di antara semak-semak, sambil berbunyi-bunyi keras cwuit-cwuit-cwuit.. ciblek-ciblek-ciblek-ciblek.. ! Ekor yang tipis digerakkan ke atas saat berkicau.
Mencari mangsanya yang berupa aneka serangga dan ulat, perenjak jawa
berburu mulai dari permukaan tanah hingga tajuk pepohonan. Burung ini
membuat sarangnya di rerumputan atau semak-semak hingga ketinggian
sekitar 1,5 m di atas tanah. Sarang berbentuk bola kecil dianyam dari
rerumputan dan serat tumbuhan.
Perenjak jawa adalah burung endemik (menyebar terbatas) di wilayah Sumatra, Jawa dan Bali. Di Sumatra tidak jarang sampai ketinggian 900 m dpl, sedangkan di Jawa dan Bali umum sampai ketinggian 1.500 m dpl.
Ancaman dan konservasi
Sebelum tahun 1990-an, burung ini boleh dibilang tidak memiliki nilai
ekonomi, sehingga banyak dibiarkan bebas dan meliar seperti halnya burung gereja dan burung pipit.
Sifatnya yang mudah beradaptasi dan tidak takut pada manusia
menyebabkan populasi burung ini cukup tinggi pada wilayah-wilayah yang
sesuai.
Setelah tahun-tahun itu, burung ini mulai banyak diburu orang untuk
diperdagangkan terutama di Jawa. Apalagi burung ini mudah dijumpai di
wilayah perkebunan dan memiliki keistimewaan mudah jinak. Sifat jinaknya
membuat ia mudah ditangkap dengan cara dipikat yaitu memakai bantuan
cermin di dalam sangkar. Burung yang tertarik dengan bayangannya sendiri
akan terjebak di dalam sangkar.
Cara lain adalah dengan memasang jerat atau rajut di sekitar sarangnya, atau dengan perangkap getah (pulut)
pada tempat-tempat tidurnya di waktu malam. Para penangkap burung yang
terampil, bahkan, kerap hanya bermodalkan senter, kehati-hatian dan
kecepatan tangan menangkap burung yang tidur di malam hari.
Sayang sekali burung ini mudah stres dan mati dalam pemeliharaan,
terutama apabila yang ditangkap adalah burung dewasa. Belum lagi jika
pemeliharanya tidak berpengalaman. Namun ini agaknya tidak menyurutkan
minat para penangkap burung untuk terus memburunya. Sampai sekarang,
burung ini masih sulit untuk dibiakkan. Sejak Tahun 2010, salah seorang
penghobi burung pekicau Iwan Lippo Cikarang berhasil menangkarkan
ciblek.
Eksploitasi yang berlebihan sangat berbahaya bagi populasi ciblek. Di wilayah-wilayah tertentu seperti di pinggiran Jakarta dan Bogor,
kini seolah ‘kehabisan stok’ padahal sebelum tahun 90-an burung ini
masih melimpah. Perenjak jawa semakin jarang terlihat di taman-taman,
dan hadir terbatas di tempat-tempat tertentu yang masih dekat hutan.
Dalam pemeliharaan biasanya burung ini sering diberi makanan berupa kroto (tempayak dan anak semut rangrang), ulat hongkong, serta pelet (voer).
Pembedaan kelamin
Jantan dibedakan dari betina
dengan ukuran tubuhnya yang lebih besar dan aktif berkicau. Ekor lebih
panjang dan warna sayap yang lebih gelap. Juga bisa dibedakan dari warna
paruh bagian bawahnya : Paruh bawah berwarna putih pucat adalah betina
Paruh bawah berwarna putih dengan ujung hitam adalah burung jantan muda
Paruh bawah berwarna hitam menyeluruh adalah burung jantan dewasa
Bahan bacaan
- MacKinnon, J., K. Phillipps, B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. Bogor.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar